[Aliando POV]
Aaarggh!! Ali !! bodoh benget sih, kenapa buku itu
sampai ketinggalan? Padahal didalamnya materi untuk ujian besok. Eh, ada suara piano dari kelas musik. Siapa? Malam-malam begini main piano. Suara
pianonya indah. Tapi, yang menyanyi itu sangat tidak bagus.
Aku berjalan ke kelas musik,
sampai di depan pintu, kulihat sesosok wanita berambut panjang sedang bermain
piano sambil bernyanyi.
"suaramu, tekanan nadanya salah. Itu
buruk sekali." ups,
aku keceplosan.
Dia terlonjak kaget.
"terus?" tapi dia masih
membelakangiku.
"untuk apa kau kesini
malam-malam?"
"ah, tunggu. Kau sendiri ngapain kesini?"
"ada buku yang tertinggal. Hanya itu."
"pergilah, aku tidak mau ada orang mendengar
suaraku."
"oh,.."
tinggalkan cerita tentang kita
akan tiada lagi kini tawamu
tuk hapuskan semua sepi di hati
ada cerita tentang aku dan dia
dan kita bersama saat dulu kala
ada cerita tentang masa yang indah
saat kita berduka, saat kita tertawa
teringat di saat kita tertawa bersama
ceritakan semua tentang kita
tinggalkan cerita tentang kita
akan tiada lagi kini tawamu
tuk hapuskan semua sepi di hati
ada cerita tentang aku dan dia
dan kita bersama saat dulu kala
ada cerita tentang masa yang indah
saat kita berduka, saat kita tertawa
teringat di saat kita tertawa bersama
ceritakan semua tentang kita
"kalau kau memang tidak
suka silahkan pergi. Aku tidak memintamu untuk mengomentari bagaimana
suaraku."
Aku agak tersinggung dengan
perkataannya tadi. Kemudian, aku berjalan mendekatinya.
"sombong sekali kau!
Punya hak apa kau bicara seperti itu? Memangnya sekolah ini milikmu?"
Dia menoleh, melihatku dari
ujung kepala sampai kaki.
"iya, aku memang anak
sombong, egois, dan bersuara jelek. Dan perlu kau tau, aku bisa saja
mengeluarkanmu dari sekolah ini hanya dengan satu kata. Karena aku adalah anak tunggal
pemilik sekolah ini."
"aah, maafkan aku. Kutarik ucapanku kembali. Aku benar-benar tidak
tahu. Maafkan aku sekali lagi."
Dia tidak menjawab, hanya
tersenyum sinis dan kembali melanjutkan permainan pianonya yang sempat
terganggu karena aku. Hey, ini! Ini lagu Coldplay – fix you!! Lagu kesukaanku. Dan aku
bisa menyanyikan lagu itu seindah penyanyi aslinya..
When you try your best, but you
don’t succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can’t sleep
Stuck in reverse
When the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse ??
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
Dia tercengang, melihatku
heran. Lalu berkata "suaramu indah sekali."
"aku suka lagu ini. Kau
juga suka?"
Dia mengangguk pelan. Matanya masih memandangi wajahku.
"boleh aku ikut
bermain?"
"bo-boleh. Tentu saja
boleh."
Sejak saat itu, tiap malam Rabu aku selalu ke sokolah
untuk menemani (aku menyanyi, dia main piano) gadis manis itu. Belakangan,
kuketahui namanya Prilly latuconsina. Tapi, entah lupa atau kenapa, aku belum pernah
'resmi' berkenalan dengannya.
Sampai suatu hari (tepatnya
malam ke 26 setelah aku bertemu pertama kali dengannya), aku melihat wajahnya begitu
pucat dan lemah. Diminggu berikutnya, dia tidak datang. Aku khawatir, aku cemas, aku takut terjadi apa-apa
dengannya. Aku begitu takut akan kehilangannya. Aku tidak mau.
Diminggu berikutnya lagi, sama saja. Dia tetap tidak
datang. Paginya, aku browsing internet, mencari tau semua tentang gadis bernama
Prilly itu. Ketemu,
rumahnya di sekitar komplek sebelah. Aku tau tempat itu.
Rumahnya besar sekali,
halamannya luas. Gedungnya megah. Terang saja, dia ini kan pemilik sekolahku, SMA ALICONSINA *ngarang
"permisi, apa benar ini
rumahnya prilly ?" tanyaku dari luar. Aku tidak yakin ada orang yang mendengarnya.
Karena, jarak pagar dengan pintu masuk cukup jauh.
KLEEK
Pagarnya terbuka? Ada orang
yang mendengarnya? Impossible!
Keluarlah seorang wanita paruh
baya yang kuyakin dia bekerja untuk prilly "iya, ada perlu apa?"
"ah, aku ingin bertemu
dengannya."
"maaf, non prilly sedang dirawat di rumah
sakit."
Bagai petir menyambar di
tengah salju. hah, kenapa?
"boleh aku tau alasannya?"
"aku juga tidak tau
pasti. Tapi, akhir-akhir ini tubuhnya
lemas sekali."
“rumah sakit yang mana?”
“tidak tau. Tapi aku yakin
tidak jauh dari sini.”
Rumah sakit di dekat sini
hanya RS Amanah Surga. Pasti itu.
“permisih, apa disini ada pasien
bernama Prilly latuconsina?” tanyaku saat sudah sampai di rumah sakit.
“euung, tunggu sebentar..”
resepsionis itu mulai membalik-balik kertas di depannya. “iya, nona Prilly Latuconsina ada disini. Tapi, dia belum bisa ditemui saat ini.”
“Kena[a?”
“dia sedang operasi. Kau bisa
kembali besok.”
“apa? Operasi? Kenapa?”
“beliau mengidab penyakit kanker otak.”
“apa kanker otak lemah bisa
disembuhkan?”
“hmm, menurutku kemungkinan
untuk sembuh 100% kecil sekali.”
“baiklah kalau begitu, terima kasi..” aku
membungkuk sedikit padanya, lalu pulang.
Keesokan harinya...
Semalaman aku tidak bisa tidur. Karena dia. Gadis bernama Prilly. Mataku sama sekali tidak bisa
terpejam, setiap mencoba merem, pikiran tentang Prilly selalu menghampiri
meminta dipikirkan. Aku tidak tenang. Aku rindu padanya, rindu saat dia bermain
piano. Rindu saat dia mulai memarahiku karena berhenti menyanyi. Aku rindu saat
mendengar suaranya yang agak cempreng. Aku rindu semua itu.
“Ali! Matamu kenapa?” tanya seseorang disebelahku yang
membuat lamunanku buyar karenanya.
“ah, mata? tidak. Aku tidak apa-apa.”
“apa semalam kau tidak tidur?” selidiknya antusias.
Kulihat wajahnya, oh! Ini dia, Kelvin
“iya.” Jawabku cuek.
“kenapa? Apa semalam kau tidak tidur karena menonton
film yadong?”
“Heh bocah! Aku ini bukan kau!” sahutku kesal.
“sembarangan memanggilku bocah! Dasar T-Rex!”
“sudahlah. Aku sedang malas bertengkar. Jangan ganggu
aku!”
Aku meninggalkannya sendirian di kelas ini. Kemana aku
akan pergi?
Hmm, sebaiknya aku ke ruang musik. Ini hari Selasa.
Tidak ada kelas musik dari kelas 1-3.
Ruangan ini kosong. Tidak ada suara piano atau
semacamnya. Yang ada hanya alat-alat musik terpajang rapi dalam lemari kaca.
Kertas-kertas dan partitur-partitur lagu bertumpukan di meja yang berada
disurut ruangan.
Kuambil salah satu partitur itu. Dengan judul “ Semua Tentang Kita “ lalu kunyanyikan tanpa
piano. Berharap Prilly mendengarnya dan mengiringi nyanyianku dengan piano itu.
waktu
terasa semakin kelabu
Lagu ini begitu menyedihkan, mungkin penciptanya
pernah kehilangan orang yang amat sangat dicintai. Tanpa sadar, aku menangis.
Air mataku jatuh begitu deras, entah karena liriknya atau aku teringat Prilly.
“waah, baru kali ini kulihat Ali si pemarah menangis
seperti anak kecil.” Sebuah suara menyebalkan itu terdengar lagi. Yak! Kelvin!
Menyebalkan, kemanapun aku pergi dia selalu gentayangan di dekatku, ck.
Cepat-cepat kuhapus air mata yang sudah banjir di
pipi. Bersikap senormal mungkin. Tapi ada daya, dia sudah melihatku menangis.
“bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk?!”
“Hah? Memang ini ruangan peribadimu? Siapa saja bisa
masuk jika kelas kosong.”
“ini tidak kosong, bodoh !! Ada aku disini!”
“ooh, aku keliru. Maaf.” terdengar nada ketus dari
perkataannya barusan.
“keluar kau!!” bentakku agak keras. Bukannya keluar,
dia malah melangkahkan kaki panjangnya memasuki ruangan ini. Lalu mengambil
alih partitur dari tanganku.
“maumu apa sih?”
“mauku? Aku hanya iseng.” Biasanya, saat dia bilang
seperti itu aku akan menggelitik pinggangnya sampai dia sakit perut. Tapi,
tidak saat ini. Otakku tidak mengizinkan tanganku melakukan itu.
“kau sudah tau aku menangis. Sekarang aku lega, tidak
perlu menangis sembunyi-sembunyi. Lakukan apa maumu.” Lalu aku berjalan ke
piano. Menekan satu persatu tuts piano itu, kemudian air mataku jatuh lagi.
Biarkan Kelvin melihatku seperti ini, kuharap ada malaikat yang datang memberi
ilham padanya agar dia bisa menjadi penenang hatiku. KUHARAP. Tapi rasanya
tidak mungkin.
“Ali, ada masalah apa?”
Kutengok wajahnya, tersirat ekspresi iba disana.
“aku,... aku merindukannya, vin~”
“siapa ?” tanyanya. Disaat bersamaan, di duduk
disebelahku.
“Prilly, Prilly. Hiiks,...” aku menyeka air mata yang
sudah terlanjur banyak ini dengan saputangan yang Prilly pinjamkan padaku.
karena waktu itu, rhinitis-ku kambuh lagi. Dan aku belum sempat mengembalikan
benda berwarna merah ini padanya.
“memangnya dia kemana?”
“sakit kanker otak--“ aku tidak melanjutkan kalimatku
karena ada sesuatu yang bergetar di saku celanaku. Kurogoh saku, mengambil
ponsel. Terpampang nomor asing. Siapa?
“Hallo ?”
“.....”
“Sungguh ? Gamsahamnida.”
“.....”
Aku langsung berlari keluar ruangan. Meninggalkan Kelvin
yang bingung karena tiba-tiba aku keluar tanpa ba-bi-bu. Hanya satu
tujuanku. Kesana. Pergi ke tempat itu.
***
Hari-hariku berjalan cepat. Berkat Prilly. Kini,
penyakitnya sudah semakin jarang kambuh. Kuharap penyakit itu enyah dari tubuh
pujaan hatiku. Ya, kalian tau, aku sudah resmi memperkenalkan diri + menjadi kekasinya.
Dan hampir setiap malam aku ke sekolah untuk menemuinya. Tentu saja untuk
bermain piano atau sekedar berbincang dengan gadis bermarga Latuconsina itu. Sekarang,
aku lebih akrab memanggilnya prill.
“Prill, kemampuan menyanyimu semakin baik. Seharusnya
kau jadi artis saja.” Pujiku saat mendengar suranya yang sudah merdu.
“aah, tidak. Kurasa tidak. Aku yakin hidupku sudah
tidak lama lagi..”
Aku menenggelamkan wajahnya ke pelukan hangatku.
Inilah saat yang paling harapkan. Tapi, aku tidak berharap dia mengatakan hal
mengerikan itu.
“jangan bilang seperti itu. Berdoa-lah semoga kau
panjang umur.”
“Li, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku.” Tangan
mungilnya mulai memukul-mukul dadaku pelan.
“aku? Aku hanya memelukmu. Apa salah, hm?”
“LI, tapi tidak
seperti ini. Kau tidak boleh melakukannya. Lepas!” tangannya semakin ‘ganas’
memukul dadaku. Haaduh~ rasanya dadaku bisa hancur jika diperlakukan seperti
ini.
“kau mau aku melepas pelukan ini? Berjanjilah padaku
kau tidak akan mati karena kanker itu, janji?” aku menautkan kepalaku di pucuk
kepalanya. Sekarang, dia sudah tenang dan mulai mengambil posisi yang nyaman
untuk menikmati pelukanku.
“tidak. Kematian tidak bisa ditunda atau dihindari.
Dan aku, bisa saja mati sekarang.”
Kurasa dari perkataannya tadi ada benarnya. Tapi, aku
tidak akan pernah mau melepasnya. Karena hatiku terlanjur menempel dengan
hatinya. Jika salah satu bagian hati ini lepas, otomatis bagian lainnya akan
mati.
“heh, apa yang kau lamunkan?”
“ah, oh tidak. Tidak ada. Prilly, berjanjilah padaku
kau tidak akan pergi tanpa sepengetahuanku. Oke !!~”
“what? Kau kira aku ini bayimu yang harus selalu
dijaga, ha?”
“aku tidak bilang seperti itu, kok. Berjanjilah.”
“ok, sebelum aku berjanji, bisakah kau melepas pelukan
ini?”
Aku melepas tanganku. Melepas pelukan yang tidak
kuinginkan. Wajahnya sudah merah merona.
“aku, Prilly. Berjanji dengan setulus hati tidak akan
pergi tanpa sepengetahuan Ali, pacarku yang sangat tampan, pintar menyanyi
dan......cerewet. sudah puas?” dia mengecilkan volumenya saat berkata
‘cerewet’. Dasaar~
“Uuuhh, Prilly ku yang cantik.” Aku mencubit gemas
pipinya. Sebenarnya niatku mencubit pipinya adalah ‘menghukumnya’ karena mengejekku
cerewet.
“Ali ! Kenapa
kau geleng-geleng kepala? Apa aku jelek?” tanyanya.
“uh, tidak. Kau sangat cantik, kau wanita tercantik
yang pernah kutemui. Oh, iya! Aku baru ingat, aku ada janji dengan Kelvin. Aku
pulang ya...” aku beranjak dari kursi dan berjalan keluar ruangan. Ya tuhaan~
sebenarnya aku masih ingin duduk disana. Tapi, dari pada melakukan hal yang
tidak-tidak, lebih baik aku pulang..
“Ali !” panggilnya dari dalam. Huuuft.. jangan.
Jangan. Ali tidak boleh melakukan itu.
“maaf, Prilly. Tapi, aku harus datang kesana.
Hati-hati di jalan.” Kakiku masih terpaku disini. Tidak mau berjalan
keluar sekolah.
“ha? Seharusnya aku yang bilang ‘hati-hati di jalan’
tau!” teriaknya dari dalam (lagi) dengan nada lucu.
***
***
3 months later..
“bagaimana teaternya?”
“Aarrgh!! Aku nggak suka!! Kenapa kau mengajakku
menonton pertunjukkan menjijikan seperti itu, hah?!” Prilly memukul lenganku.
Uugh, biar kecil, tenaganya sangat kuat. Aku pernah dibuat cedera karena
pukulannya itu.
“menjijikkan? Itu hanya pembunuhan. Tidak usah takut,
pril.” Iya, pembunuhan: mutilasi. Sebenarnya aku juga takut, tapi biarkan Prilly
ketakutan dan memegang lenganku sepanjang pertunjukkan. Huahaha #EvilSmirk
“pokoknya aku tetap tidak suka!”
“tapi kan ada adegan piano. Aku suka, kok.”
“iya, tapi hanya 4 menit! Huh, aku marah sama kamu.”
Dia membelakangiku.
“Padahal aku ingin mengajakmu ke toko piano. Ya sudah
kalau tidak mau. Aku pergi sendiri saja.” Aku berjalan menjauhinya. Tapi, aku
tau. Ini takkan lama.
“eh Ali! Kutarik lagi ucapanku. Tunggu!Aku ikut.”
[Author POV]
Ali masih saja berjalan dengan senyum jahil menghiasi
bibirnya. Dari arah jalan, ada sebuah truk yang melaju kencang. Tapi, sang
sopir tidak mengetahui bahwa remnya blong.
“ALIIIIIIII~~!!!” Prilly berteriak ketakutan. Dia
tidak berani melihat.
Dengan santainya, Ali terus berjalan menyebrangi jalan
tanpa menoleh ke arah Prilly.
“ALIIIII!!! AWAAAAS!” sekali lagi Prilly
berteriak. Namun terlambat, truk itu terlanjur menabrak tubuh Ali. Tubuhnya
terpental beberapa meter. Sementara truk yang menabraknya itu kabur. Prilly
berlari menghampiri Ali. Setiap langkahnya diiringi air mata yang jatuh
membasahi pipinya.
“Ali!! Ireona! Kau harus bangun! Ayo bangun. Buka
matamu. Aku tidak suka Ali yg seperti ini. Ayo cepat buka matamu. Aku tau kau
bisa mendengarku. Cepat buka! Hiiks...” Prilly menangis histeris.
“Pril... Prilly.., ma..maa....maaf....ak..aku...tidak...kuat..hhh..hh”Ujar
Ali dengan napas yang hampir putus.
“tidak, jangan pergi. Ali, dengar ! Jangan tinggalkan
aku! Jangan, jangan pernah!”
tangisan Prilly menjadi-jadi saat Ali berkata,
“hhmmhh..a..aku..mi..minta..ma..”ucapan Ali menggantung. Disaat bersamaan,
matanya mulai tertutup & denyut nadinya berhenti.
“Tidak, Ali! bangun, CAN YOU HEAR ME??” Namun syang,
Ali sudah pergi, pergi meninggalkan prilly untuk selamanya.
~ Putar Lagu ST12 – Saat Terakhir ~
Perlahan tapi pasti, butiran-butiran bening jatuh
membasahi pipi Prilly. Air mata yang jatuh dari dasar hati. Kepedihan yang amat
mendalam. Kerinduan yang tidak akan pernah terobati. Kini, dia sendiri. Tidak
ada lagi sosok Ali yang mengiringinya bermain piano lagi. Sendirian. Itulah hal
yang paling tidak diinginkan Prilly.
“hiks.. Ali maafkan aku, maafkan aku.” Bisik Prilly
disela-sela tangisnya.
‘aku tidak apa-apa.’ Sayup-sayup ada seseorang yang menjawab.
“Aaakkhhh, ALIIIII!!!” tiba-tiba Prilly berteriak
kesakitan.
***
Prilly sedang berjalan-jalan menyusuri koridor sekolah
Ali. Wajahnya tampak pucat. Sekelilingnya hanya ada kesunyian. tidak ada orang.
Kosong melompong.
Diujung koridor, terdapat sesosok pria berpakaian
putih bersinar sedang berdiri diam. Pandangannya hanya tertuju kepada Prilly.
Entah manusia atau bukan, pria itu tampak transparan.
“Ali, itu kau?” tanya Prilly lirih. Pria itu mendekat,
mendekat. Sekarang jarak kedua ‘makhluk’ itu hanya 20 sentimeter.
Prilly menagis haru. Tidak percaya dengan apa di
depannya. Benar. Itu memang Ali.
“Prillyi, aku merindukanmu.” Kemudian, Ali memeluk
erat tubuh Prilly.
“Ali, maafkan aku.”
“kenapa kau meminta maaf? Aku bersamamu. Sekarang, aku
bahagia bisa bertemu denganmu lagi.”
Prilly tidak menjawab pertanyaan Ali. Tapi, tersenyum
bahagia dan memeluk Ali semakin erat.
~ The End ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar