Rabu, 11 Maret 2015

Piano - ( FF AliandoPrilly )



[Aliando POV]

Aaarggh!! Ali !! bodoh benget sih, kenapa buku itu sampai ketinggalan? Padahal didalamnya materi untuk ujian besok. Eh, ada suara piano dari kelas musik. Siapa? Malam-malam begini main piano. Suara pianonya indah. Tapi, yang menyanyi itu sangat tidak bagus.
Aku berjalan ke kelas musik, sampai di depan pintu, kulihat sesosok wanita berambut panjang sedang bermain piano sambil bernyanyi.
"suaramu, tekanan nadanya salah. Itu buruk sekali." ups, aku keceplosan.
Dia terlonjak kaget.
"terus?" tapi dia masih membelakangiku.
"untuk apa kau kesini malam-malam?"
"ah, tungguKau sendiri ngapain kesini?"
"ada buku yang tertinggal. Hanya itu."
"pergilah, aku tidak mau ada orang mendengar suaraku."
"oh,.."


tinggalkan cerita tentang kita
akan tiada lagi kini tawamu
tuk hapuskan semua sepi di hati
ada cerita tentang aku dan dia
dan kita bersama saat dulu kala
ada cerita tentang masa yang indah
saat kita berduka, saat kita tertawa
teringat di saat kita tertawa bersama
ceritakan semua tentang kita


"kalau kau memang tidak suka silahkan pergi. Aku tidak memintamu untuk mengomentari bagaimana suaraku."
Aku agak tersinggung dengan perkataannya tadi. Kemudian, aku berjalan mendekatinya.
"sombong sekali kau! Punya hak apa kau bicara seperti itu? Memangnya sekolah ini milikmu?"
Dia menoleh, melihatku dari ujung kepala sampai kaki.
"iya, aku memang anak sombong, egois, dan bersuara jelek. Dan perlu kau tau, aku bisa saja mengeluarkanmu dari sekolah ini hanya dengan satu kata. Karena aku adalah anak tunggal pemilik sekolah ini."
"aah, maafkan aku. Kutarik ucapanku kembali. Aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku sekali lagi."
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum sinis dan kembali melanjutkan permainan pianonya yang sempat terganggu karena aku. Hey, ini! Ini lagu Coldplay – fix you!! Lagu kesukaanku. Dan aku bisa menyanyikan lagu itu seindah penyanyi aslinya..

 When you try your best, but you don’t succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can’t sleep
Stuck in reverse
When the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse ??
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you

Dia tercengang, melihatku heran. Lalu berkata "suaramu indah sekali."
"aku suka lagu ini. Kau juga suka?"
Dia mengangguk pelan. Matanya masih memandangi wajahku.
"boleh aku ikut bermain?"
"bo-boleh. Tentu saja boleh."

Sejak saat itu, tiap malam Rabu aku selalu ke sokolah untuk menemani (aku menyanyi, dia main piano) gadis manis itu. Belakangan, kuketahui namanya Prilly latuconsina. Tapi, entah lupa atau kenapa, aku belum pernah 'resmi' berkenalan dengannya.
Sampai suatu hari (tepatnya malam ke 26 setelah aku bertemu pertama kali dengannya), aku melihat wajahnya begitu pucat dan lemah. Diminggu berikutnya, dia tidak datang. Aku khawatir, aku cemas, aku takut terjadi apa-apa dengannya. Aku begitu takut akan kehilangannya. Aku tidak mau.
Diminggu berikutnya lagi, sama saja. Dia tetap tidak datang. Paginya, aku browsing internet, mencari tau semua tentang gadis bernama Prilly itu. Ketemu, rumahnya di sekitar komplek sebelah. Aku tau tempat itu.

Rumahnya besar sekali, halamannya luas. Gedungnya megah. Terang saja, dia ini kan pemilik sekolahku, SMA ALICONSINA *ngarang
"permisi, apa benar ini rumahnya prilly ?" tanyaku dari luar. Aku tidak yakin ada orang yang mendengarnya. Karena, jarak pagar dengan pintu masuk cukup jauh.
KLEEK
Pagarnya terbuka? Ada orang yang mendengarnya? Impossible!
Keluarlah seorang wanita paruh baya yang kuyakin dia bekerja untuk prilly "iya, ada perlu apa?"
"ah, aku ingin bertemu dengannya."
"maaf, non prilly sedang dirawat di rumah sakit."
Bagai petir menyambar di tengah salju. hah, kenapa?
"boleh aku tau alasannya?"
"aku juga tidak tau pasti. Tapi, akhir-akhir ini tubuhnya lemas sekali."
“rumah sakit yang mana?”
“tidak tau. Tapi aku yakin tidak jauh dari sini.”
Rumah sakit di dekat sini hanya RS Amanah Surga. Pasti itu.

permisih, apa disini ada pasien bernama Prilly latuconsina?” tanyaku saat sudah sampai di rumah sakit.
“euung, tunggu sebentar..” resepsionis itu mulai membalik-balik kertas di depannya. “iya, nona Prilly Latuconsina ada disini. Tapi, dia belum bisa ditemui saat ini.”
Kena[a?”
“dia sedang operasi. Kau bisa kembali besok.”
apa? Operasi? Kenapa?”
beliau mengidab penyakit kanker otak.”
“apa kanker otak lemah bisa disembuhkan?”
“hmm, menurutku kemungkinan untuk sembuh 100% kecil sekali.”
“baiklah kalau begitu, terima kasi..” aku membungkuk sedikit padanya, lalu pulang.

Keesokan harinya...

Semalaman aku tidak bisa tidur. Karena dia. Gadis  bernama Prilly. Mataku sama sekali tidak bisa terpejam, setiap mencoba merem, pikiran tentang Prilly selalu menghampiri meminta dipikirkan. Aku tidak tenang. Aku rindu padanya, rindu saat dia bermain piano. Rindu saat dia mulai memarahiku karena berhenti menyanyi. Aku rindu saat mendengar suaranya yang agak cempreng. Aku rindu semua itu.
“Ali! Matamu kenapa?” tanya seseorang disebelahku yang membuat lamunanku buyar karenanya.
“ah, mata? tidak. Aku tidak apa-apa.”
“apa semalam kau tidak tidur?” selidiknya antusias. Kulihat wajahnya, oh! Ini dia, Kelvin
“iya.” Jawabku cuek.
“kenapa? Apa semalam kau tidak tidur karena menonton film yadong?”
“Heh bocah! Aku ini bukan kau!” sahutku kesal.
“sembarangan memanggilku bocah! Dasar T-Rex!”
“sudahlah. Aku sedang malas bertengkar. Jangan ganggu aku!”
Aku meninggalkannya sendirian di kelas ini. Kemana aku akan pergi?
Hmm, sebaiknya aku ke ruang musik. Ini hari Selasa. Tidak ada kelas musik dari kelas 1-3.

Ruangan ini kosong. Tidak ada suara piano atau semacamnya. Yang ada hanya alat-alat musik terpajang rapi dalam lemari kaca. Kertas-kertas dan partitur-partitur lagu bertumpukan di meja yang berada disurut ruangan.
Kuambil salah satu partitur itu. Dengan judul  “ Semua Tentang Kita “ lalu kunyanyikan tanpa piano. Berharap Prilly mendengarnya dan mengiringi nyanyianku dengan piano itu.

waktu terasa semakin kelabu

Lagu ini begitu menyedihkan, mungkin penciptanya pernah kehilangan orang yang amat sangat dicintai. Tanpa sadar, aku menangis. Air mataku jatuh begitu deras, entah karena liriknya atau aku teringat Prilly.
“waah, baru kali ini kulihat Ali si pemarah menangis seperti anak kecil.” Sebuah suara menyebalkan itu terdengar lagi. Yak! Kelvin! Menyebalkan, kemanapun aku pergi dia selalu gentayangan di dekatku, ck.
Cepat-cepat kuhapus air mata yang sudah banjir di pipi. Bersikap senormal mungkin. Tapi ada daya, dia sudah melihatku menangis.
“bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk?!”
“Hah? Memang ini ruangan peribadimu? Siapa saja bisa masuk jika kelas kosong.”
“ini tidak kosong, bodoh !! Ada aku disini!”
“ooh, aku keliru. Maaf.” terdengar nada ketus dari perkataannya barusan.
“keluar kau!!” bentakku agak keras. Bukannya keluar, dia malah melangkahkan kaki panjangnya memasuki ruangan ini. Lalu mengambil alih partitur dari tanganku.
“maumu apa sih?”
“mauku? Aku hanya iseng.” Biasanya, saat dia bilang seperti itu aku akan menggelitik pinggangnya sampai dia sakit perut. Tapi, tidak saat ini. Otakku tidak mengizinkan tanganku melakukan itu.
“kau sudah tau aku menangis. Sekarang aku lega, tidak perlu menangis sembunyi-sembunyi. Lakukan apa maumu.” Lalu aku berjalan ke piano. Menekan satu persatu tuts piano itu, kemudian air mataku jatuh lagi. Biarkan Kelvin melihatku seperti ini, kuharap ada malaikat yang datang memberi ilham padanya agar dia bisa menjadi penenang hatiku. KUHARAP. Tapi rasanya tidak mungkin.
“Ali, ada masalah apa?”
Kutengok wajahnya, tersirat ekspresi iba disana.
“aku,... aku merindukannya, vin~”
“siapa ?” tanyanya. Disaat bersamaan, di duduk disebelahku.
“Prilly, Prilly. Hiiks,...” aku menyeka air mata yang sudah terlanjur banyak ini dengan saputangan yang Prilly pinjamkan padaku. karena waktu itu, rhinitis-ku kambuh lagi. Dan aku belum sempat mengembalikan benda berwarna merah ini padanya.
“memangnya dia kemana?”
“sakit kanker otak--“ aku tidak melanjutkan kalimatku karena ada sesuatu yang bergetar di saku celanaku. Kurogoh saku, mengambil ponsel. Terpampang nomor asing. Siapa?
“Hallo ?”
“.....”
“Sungguh ? Gamsahamnida.”
“.....”
Aku langsung berlari keluar ruangan. Meninggalkan Kelvin yang bingung  karena tiba-tiba aku keluar tanpa ba-bi-bu. Hanya satu tujuanku. Kesana. Pergi ke tempat itu.

***

Hari-hariku berjalan cepat. Berkat Prilly. Kini, penyakitnya sudah semakin jarang kambuh. Kuharap penyakit itu enyah dari tubuh pujaan hatiku. Ya, kalian tau, aku sudah resmi memperkenalkan diri + menjadi kekasinya. Dan hampir setiap malam aku ke sekolah untuk menemuinya. Tentu saja untuk bermain piano atau sekedar berbincang dengan gadis bermarga Latuconsina itu. Sekarang, aku lebih akrab memanggilnya prill.
“Prill, kemampuan menyanyimu semakin baik. Seharusnya kau jadi artis saja.” Pujiku saat mendengar suranya yang sudah merdu.
“aah, tidak. Kurasa tidak. Aku yakin hidupku sudah tidak lama lagi..”
Aku menenggelamkan wajahnya ke pelukan hangatku. Inilah saat yang paling harapkan. Tapi, aku tidak berharap dia mengatakan hal mengerikan itu.
“jangan bilang seperti itu. Berdoa-lah semoga kau panjang umur.”
“Li, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku.” Tangan mungilnya mulai memukul-mukul dadaku pelan.
“aku? Aku hanya memelukmu. Apa salah, hm?”
“LI,  tapi tidak seperti ini. Kau tidak boleh melakukannya. Lepas!” tangannya semakin ‘ganas’ memukul dadaku. Haaduh~ rasanya dadaku bisa hancur jika diperlakukan seperti ini.
“kau mau aku melepas pelukan ini? Berjanjilah padaku kau tidak akan mati karena kanker itu, janji?” aku menautkan kepalaku di pucuk kepalanya. Sekarang, dia sudah tenang dan mulai mengambil posisi yang nyaman untuk menikmati pelukanku.
“tidak. Kematian tidak bisa ditunda atau dihindari. Dan aku, bisa saja mati sekarang.”
Kurasa dari perkataannya tadi ada benarnya. Tapi, aku tidak akan pernah mau melepasnya. Karena hatiku terlanjur menempel dengan hatinya. Jika salah satu bagian hati ini lepas, otomatis bagian lainnya akan mati.
“heh, apa yang kau lamunkan?”
“ah, oh tidak. Tidak ada. Prilly, berjanjilah padaku kau tidak akan pergi tanpa sepengetahuanku. Oke !!~”
“what? Kau kira aku ini bayimu yang harus selalu dijaga, ha?”
“aku tidak bilang seperti itu, kok. Berjanjilah.”
“ok, sebelum aku berjanji, bisakah kau melepas pelukan ini?”
Aku melepas tanganku. Melepas pelukan yang tidak kuinginkan. Wajahnya sudah merah merona.
“aku, Prilly. Berjanji dengan setulus hati tidak akan pergi tanpa sepengetahuan Ali, pacarku yang sangat tampan, pintar menyanyi dan......cerewet. sudah puas?” dia mengecilkan volumenya saat berkata ‘cerewet’. Dasaar~
“Uuuhh, Prilly ku yang cantik.” Aku mencubit gemas pipinya. Sebenarnya niatku mencubit pipinya adalah ‘menghukumnya’ karena mengejekku cerewet.
 “Ali ! Kenapa kau geleng-geleng kepala? Apa aku jelek?” tanyanya.
“uh, tidak. Kau sangat cantik, kau wanita tercantik yang pernah kutemui. Oh, iya! Aku baru ingat, aku ada janji dengan Kelvin. Aku pulang ya...” aku beranjak dari kursi dan berjalan keluar ruangan. Ya tuhaan~ sebenarnya aku masih ingin duduk disana. Tapi, dari pada melakukan hal yang tidak-tidak, lebih baik aku pulang..
“Ali !” panggilnya dari dalam. Huuuft.. jangan. Jangan. Ali tidak boleh melakukan itu.
“maaf, Prilly. Tapi, aku harus datang kesana. Hati-hati di jalan.” Kakiku masih terpaku disini. Tidak mau berjalan keluar sekolah.
“ha? Seharusnya aku yang bilang ‘hati-hati di jalan’ tau!” teriaknya dari dalam (lagi) dengan nada lucu.
                                                                                       ***
                                                                                       ***
3 months later..
“bagaimana teaternya?”
“Aarrgh!! Aku nggak suka!! Kenapa kau mengajakku menonton pertunjukkan menjijikan seperti itu, hah?!” Prilly memukul lenganku. Uugh, biar kecil, tenaganya sangat kuat. Aku pernah dibuat cedera karena pukulannya itu.
“menjijikkan? Itu hanya pembunuhan. Tidak usah takut, pril.” Iya, pembunuhan: mutilasi. Sebenarnya aku juga takut, tapi biarkan Prilly ketakutan dan memegang lenganku sepanjang pertunjukkan. Huahaha #EvilSmirk
“pokoknya aku tetap tidak suka!”
“tapi kan ada adegan piano. Aku suka, kok.”
“iya, tapi hanya 4 menit! Huh, aku marah sama kamu.” Dia membelakangiku.
“Padahal aku ingin mengajakmu ke toko piano. Ya sudah kalau tidak mau. Aku pergi sendiri saja.” Aku berjalan menjauhinya. Tapi, aku tau. Ini takkan lama.
“eh Ali! Kutarik lagi ucapanku. Tunggu!Aku ikut.”

[Author POV]

Ali masih saja berjalan dengan senyum jahil menghiasi bibirnya. Dari arah jalan, ada sebuah truk yang melaju kencang. Tapi, sang sopir tidak mengetahui bahwa remnya blong.
“ALIIIIIIII~~!!!” Prilly berteriak ketakutan. Dia tidak berani melihat.
Dengan santainya, Ali terus berjalan menyebrangi jalan tanpa menoleh ke arah Prilly.
 “ALIIIII!!! AWAAAAS!” sekali lagi Prilly berteriak. Namun terlambat, truk itu terlanjur menabrak tubuh Ali. Tubuhnya terpental beberapa meter. Sementara truk yang menabraknya itu kabur. Prilly berlari menghampiri Ali. Setiap langkahnya diiringi air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Ali!! Ireona! Kau harus bangun! Ayo bangun. Buka matamu. Aku tidak suka Ali yg seperti ini. Ayo cepat buka matamu. Aku tau kau bisa mendengarku. Cepat buka! Hiiks...” Prilly menangis histeris.
“Pril... Prilly.., ma..maa....maaf....ak..aku...tidak...kuat..hhh..hh”Ujar Ali dengan napas yang hampir putus.
“tidak, jangan pergi. Ali, dengar ! Jangan tinggalkan aku! Jangan, jangan pernah!”
tangisan Prilly menjadi-jadi saat Ali berkata, “hhmmhh..a..aku..mi..minta..ma..”ucapan Ali menggantung. Disaat bersamaan, matanya mulai tertutup & denyut nadinya berhenti.
“Tidak, Ali! bangun, CAN YOU HEAR ME??” Namun syang, Ali sudah pergi, pergi meninggalkan prilly untuk selamanya.

            ~ Putar Lagu ST12 – Saat Terakhir ~

Perlahan tapi pasti, butiran-butiran bening jatuh membasahi pipi Prilly. Air mata yang jatuh dari dasar hati. Kepedihan yang amat mendalam. Kerinduan yang tidak akan pernah terobati. Kini, dia sendiri. Tidak ada lagi sosok Ali yang mengiringinya bermain piano lagi. Sendirian. Itulah hal yang paling tidak diinginkan Prilly.
“hiks.. Ali maafkan aku, maafkan aku.” Bisik Prilly disela-sela tangisnya.
‘aku tidak apa-apa.’ Sayup-sayup ada seseorang yang menjawab.
“Aaakkhhh, ALIIIII!!!” tiba-tiba Prilly berteriak kesakitan.
                                                                                ***

Prilly sedang berjalan-jalan menyusuri koridor sekolah Ali. Wajahnya tampak pucat. Sekelilingnya hanya ada kesunyian. tidak ada orang. Kosong melompong.
Diujung koridor, terdapat sesosok pria berpakaian putih bersinar sedang berdiri diam. Pandangannya hanya tertuju kepada Prilly. Entah manusia atau bukan, pria itu tampak transparan.
“Ali, itu kau?” tanya Prilly lirih. Pria itu mendekat, mendekat. Sekarang jarak kedua ‘makhluk’ itu hanya 20 sentimeter.
Prilly menagis haru. Tidak percaya dengan apa di depannya. Benar. Itu memang Ali.
“Prillyi, aku merindukanmu.” Kemudian, Ali memeluk erat tubuh Prilly.
“Ali, maafkan aku.”
“kenapa kau meminta maaf? Aku bersamamu. Sekarang, aku bahagia bisa bertemu denganmu lagi.”
Prilly tidak menjawab pertanyaan Ali. Tapi, tersenyum bahagia dan memeluk Ali semakin erat.


~ The End ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar