Kamis, 05 Maret 2015

NIKITA KHRUSHCHEV DAN JOHN KENNEDY

Mr. K dan Mr. K, mewujudkan cita-cita proklamasi Indonesia

A built-in remedy 
For Khrushchev and Kennedy 
At anytime an invitation 
You can’t decline
- “Killer Queen” oleh Queen

MASIH ingat sepotong syair atau lyric dari lagu berjudul “Killer Queen” yang dinyanyikan Freddie Mercury dari kelompok musik asal Inggris itu? Pasti Anda bertanya, siapa Khrushchev dan siapa pula Kennedy? Dan mahluk dari mana mereka?
Khrushchev atau nama lengkapnya Nikite Sergeyevich Khrushchev adalah pemimpin Uni Soviet semasa 1960an. Sedangkan Kennedy yang dimaksud adalah John Fitzgerald Kennedy, presiden AS saat awal 1960-an. Dua pemimpin besar dari dua negara adidaya itu, kadang sering disingkat dengan sebutan pendek dalam tulisan-tulisan di media cetak, Mr. K. Huruf K itu bisa Khrushchev dan bisa juga Kennedy.

Lalu kenapa mereka disebut sebagai orang yang terlupakan dalam proklamasi Indonesia? Apa hubungannya? Kok bukan orang Indonesia? Kok? Kok? Kok? Pasti banyak tanda tanya yang tersimpan.
Gampang dan sangat mudah memahami mengapa mereka dilupakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. Sudah jelas dan semua tahu, mereka tidak terlibat langsung dalam perjuangan melahirkan negeri ini yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Nikita, nama panggilan akrab Khrushchev, berumur 51 tahun. Sedangkan Jack, panggilan sayang Kennedy berusia belia 28 tahun saat Indonesia dilahirkan di rumah Soekarno.



Nama mereka berdua jelas tak mudah dilupakan oleh banyak orang. Namun jasa mereka berdua jelas dilupakan dalam proklamasi Indonesia. Bagaimana ceritanya? Bagaimana bisa diterima akal sehat mereka menjadi sosok yang tak dikenang lagi, meskipun memiliki andil mewujudkan cita-cita proklamasi Republik Indonesia, seperti yang diinginkan pada 17 Agustus 1945.

Menurut hukum, wilayah Indonesia sebagai negara baru, adalah semua wilayah yang dikuasai oleh Hindia Belanda. Artinya, hamparan wilayah yang sah menurut hukum milik Indonesia, terbentang dari ujung barat pulau Sumatera dan ujung timur wilayah paling timur, Irian Barat atau Irian Jaya atau sekarang disebut Papua.
Dalam perjalanan waktu, keinginan untuk memiliki wilayah sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak mudah. Mempertahankan yang sudah ada saja sangat sulit. Bahkan makin berkurang wilayahnya pada awal negeri ini masih balita. Cita-cita proklamasi yang ingin memiliki wilayah Republik Indonesia membentang dari Sumatera hingga Papua, masih menjadi impian.
Pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1950, Soekarno memberikan judul pidatonya dengan sebuah kalimat harapan, “Dari Sabang sampai Merauke”. Padahal tahun 1950, wilayah Papua masih bercokol kekuasaan kerajaan Belanda. Wilayah kaya segalanya itu, tak rela diserahkan hanya dengan tandatangan di atas kertas oleh Belanda. Tidak mau!
“Jiwa kita teridam-idamkan hal satu itu, yaitu hal yang kita maksudkan pada waktu proklamasi di Pegangsaan Timur lima tahun lalu!”, teriak Soekarno pada pidato HUT RI yang pertama kali diucapkan di Jakarta, setelah 4 tahun dirayakan di Jogjakarta. Lalu apa sih “hal yang itu”, seperti diisyaratkan Soekarno?
“Tak lain tak bukan ialah satu negara, yang meliputi segenap kepulauan Indonesia ini, ‘dari Sabang sampai Merauke’, kata Soekarno berapi-api di tangga Istana Merdeka yang baru pertama kali dia tempati, setelah luntang lantung selama masa revolusi 1945-1949.
Barulah 13 tahun setelah pidato kenegaraan HUT RI 1950 itu, niat untuk mewujudkan cita-cita proklamasi mulai digenjot dengan berbagai cara. Baik cara diplomasi yang melelahkan dan dengan cara militer, ini sebutan halus untuk menyatakan perang antara Indonesia dan Belanda.
Dari medan diplomasi, sangat mudah. Indonesia punya diplomat-diplomat ulung yang pandai berargumentasi, perang mulut dan bisa meyakinkan orang bahwa hitam itu adalah putih. Sebut saja Soebandrio, menteri luar negeri yang piawai dan pernah jadi duta besar di London. Saking jago berdiplomasi, Ratu Elizabeth II menaruh hormat padanya. (waktu dia dijatuhi hukuman mati oleh Orde Baru, Ratu Elizabeth II mengirim surat agar keputusan itu tidak dilakukan). Banyak lagi diplomat-diplomat Indonesia lainnya, yang pandai menguasai banyak bahasa asing serta hebat dalam bersilat lidah.
Bagaimana di medan perang? Wah…sedih… Indonesia tak punya persenjataan canggih menghadapi otot militer Belanda, yang banyak didukung negara-negara barat. Padahal saat itu, hampir semua perwira-perwira Indonesia banyak belajar di Amerika Serikat. Kalau begitu minta saja kepada AS? Wooo… keinginan yang sulit dilakukan. Apalagi Soekarno memperlihatkan dirinya makin menjauh dari negera-negara barat. Mungkin saja dia sebal, karena tak ada yang mau bantu Indonesia dengan senjata untuk melawan Belanda yang berkuasa di Papua saat itu.
Minta kemana? Mintalah ke Uni Soviet yang saat itu mempunyai bos bernama Nikita Khrushchev. Persahabatan Indonesia dan Uni Soviet (sekarang Rusia) yang baik dan mendalam, dimanfaat untuk minta senjata. Dan dikabulkan oleh Khrushchev…
Bayangkan, di tahun 1962 saja, kredit bantuan yang diterima dari Uni Soviet berjumlah 1500 juta dolar AS. Jumlah ini lebih banyak yang diterima negara komunis seperti Cina! Padahal Indonesia bukan negara komunis dan bukan sekutu Uni Soviet. Ini tidak lepas dari hubungan baik Khrushchev dan Soekarno. Saking mesranya, Khrushchev mau terbang jauh-jauh dari negeri es ke negeri tropik Indonesia pada Februari 1960. Khrushchev jalan-jalan keliling Indonesia selama beberapa minggu dengan rombongan besar. Tentunya juga membawa banyak bantuan ekonomi dan militer. Soekarno sempat iseng menawarkan Khrushchev buah duren untuk dimakan di depan mahasiswa UI… Wueeekkss… hampir Khrushvchev mau muntah.
Jadilah Indonesia sebagai negara teraneh di dunia. Perwiranya didikan Amerika, senjatanya buatan Uni Soviet. Padahal dua negara itu sedang bermusuhan secara dingin. Nah, senjata itu digunakan untuk melawan Belanda. Dan juga kekuatan militer Indonesia menjadi yang terkuat di Asia, setelah Cina. Horeeee…
Akhirnya Soekarno mengumumkan “perang terhadap Belanda” di Jogjakarta pada 19 Desember 1961, yang kita kenal dengan sebutan Trikora (tiga komando rakyat), yang satu diantaranya adalah mencegah ada negara Papua bikinan Belanda dan merebut wilayah itu menjadi milik yang sah bagi Indonesia.
Kenapa di Jogjakarta diumumkan? Inilah dendam Soekarno kepada Belanda, karena dia sudah merasa mentang-mentang punya senjata dan merasa menang di medan diplomasi. Tanggal itu, adalah hari yang sangat kelam bagi Indonesia dan bagi dirinya pribadi. Pada Minggu pagi hari saat orang mau pergi ke gereja, 19 Desember 1948, Jogjakarta diserbu dengan keji dan jatuh ke tangan Belanda. Soekarno dihina dan dinistakan oleh Belanda, bagaikan seorang kriminal. Padahal dia adalah seorang pemimpin sebuah negara berdaulat. Masak ditangkap seperti gembong narkoba? Tindakan itu dibalas Soekarno!
Saya masih ingat cerita dari suami kakak saya tentang masa Soekarno mengumumkan Trikora di Jogjakarta tahun 1961. Saat itu suami kakak saya punya seorang kakak dan menikah ketika Trikora dikumandangkan di Jogjakarta. “Waktu itu pesta kawinannya gelap. Mati lampu seluruh Jogja!”, katanya. Ternyata mati lampu itu bukan karena kekurangan pasokan listrik, tetapi untuk alasan keamanan karena Indonesia dalam keadaan bahaya. Takut-takut kalau Belanda menyerang kota itu di malam hari, karena merasa ditantang oleh Soekarno, orang yang paling dibenci Belanda sepanjang sejarah negeri itu.
Nah, akhirnya senjata pemberian Khrushchev itu dipakai untuk berperang. Armada Indonesia yang siap menggempur Irian Barat (nama Papua waktu itu), adalah operasi militer terbesar di dunia sejak pendaratan Normandia (Ingat film Steven Spielberg, “Saving Private Ryan”?). Dan panglima dalam merebut Irian Barat adalah perwira kesayangan Soekarno, Soeharto, yang lima tahu kemudian menggantikannya . Di medan diplomasi ada Soebandrio, di medan pertempuran ada Soeharto. Klop!
Akan bertambah parah keadaan dunia kalau terjadi perang terbuka antara Belanda dan Indonesia. Bisa jadi Indonesia makin jatuh ke pelukan kubu Uni Soviet yang komunis, dan ini yang dibenci serta ditakuti oleh Amerika Serikat. Untunglah, sebelum kejadian itu, Soekarno sudah bolak-balik berdiplomasi dengan negara-negara yang dianggap bisa membantu Indonesia secara diplomatik dan tekanan kepada Belanda.
Saat itu, hubungan Soekarno dengan AS masih baikan dan mesra. Dicarilah dukungan kepada Presiden John Kennedy, yang kemudian berteman baik secara pribadi dengan Soekarno. Dua kali Soekarno menemui Kennedy di Ruang Oval, Gedung Putih. “John, mana Jackie?”, kata Soekarno sok akrab ketika dia datang ke Gedung Putih tak ada nyonya rumah yang menyambutnya. Jackie adalah istri Presiden Kennedy yang cantik dan muda. Tahun 1990, Jackie buka kartu dalam sebuah buku biografinya, bahwa Soekarno pernah mengundangnya datang ke Indonesia, dengan syarat tanpa suami!
Karena tekanan Presiden Kennedy yang berat kepada Belanda, akhirnya pertempuran besar-besaran antara Indonesia dan Belanda bisa dihindarkan. Beberapa kali perundingan dilakukan oleh Indonesia dan Belanda yang diberi fasilitas oleh Kennedy melalui diplomat kawakan AS, Ellsworth Bunker. Akhirnya atas usulan Bunker yang disetujui bersama pada Agustus 1962, Belanda didesak untuk memberikan kedaulatan Irian Barat secara bertahap kepada Indonesia, paling lambat pada Mei 1963. Usulan ini pasti diterima Indonesia atas jasa Kennedy dan diterima oleh parlemen Belanda dengan muka cemberut. “Politik AS sekarang merugikan negara-negara barat”, kata Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns (tahun 1980an dia menjadi sekjen NATO, pakta militer negara-negara barat di Eropa).
Tak ada perang terbuka secara besar-besaran seperi yang kita bayangkan antara Indonesia dan Belanda. Irian Barat atau kini Papua kembali menjadi wilayah Indonesia sebelum ayam berkokok Soekarno menepuk dada dengan memberi judul pidato kenegaraa HUT RI 1962 dengan judul “Tahun Kemenangan”. Menang merebut Irian Barat. Dan Presiden John Kennedy menjadi satu-satunya presiden AS yang pernah memberi ucapan resmi atas HUT RI kepada Indonesia, pada HUT RI ke 17 tahun 1962, saat Indonesia bagai gadis ranum. Sebuah ucapan “sweet seventeen” dari Kennedy.
Pada masa itu, ketika Indonesia ingin merebut kembali wilayah Irian Barat, Indonesia berteman baik dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bahkan pertemanannya itu sudah masuk ke wilayah yang lebih personal. Antara Soekarno dan Khrushchev dan antara Soekarno dan Kennedy. Dalam banyak tingkah laku dan pernyataan resmi dari AS dan Uni Soviet, kedua negeri besar itu “agak mendukung” Indonesia untuk mewujudkan cita-cita proklamasinya, merebut wilayah Irian Barat.
Lihat saja, betapa bencinya Belanda dengan Duta Besar AS untuk Indonesia, yang bernama Howard Jones. Jones adalah sahabat Soekarno dan selalu mengeluarkan perkataan yang mendukung Indonesia setiap dia jalan-jalan ke daerah-daerah di nusantara ini. Sering Jones memekikan kata “MERDEKA!” saat rapat umum di Makassar dan di Banda Aceh. Belanda murka terhadapnya, karena perkataan “MERDEKA!”, yang sangat traumatik bagi pengalaman Belanda selama menjajah Indonesia. Sampai-sampai Belanda menjuluki sang duta besar itu dengan sebutan, Howard ‘Merdeka’ Jones.
Begitupun dengan pihak Uni Soviet, yang tidak hanya membantu senjata, tetapi juga memberi sebuah stadion terbesar di Asia bahkan satu dari stadion termegah di dunia saat itu, Stadion Gelora Bung Karno, serta memberi sebuah rumah sakit modern, yang kini bernama Rumah Sakit Persahabatan. Saya pernah membaca sebuah piagam berbahasa Rusia berukuran besar, yang tetap dipasang di pintu depan rumah sakit itu, untuk menyatakan terima kasih dan memberi tahu kepada siapapun, bahwa rumah yang membuat orang sehat ini adalah bantuan Soviet. Orang-orang dulu menyebutnya dengan sebutan “Rumah Sakit Rusia”.
Ketika Stadion Gelora Bung Karno buatan Uni Soviet itu diresmikan, Wakil Perdana Menteri Anastas Mikoyan hadir. Dia berpidato di depan publik dengan terang-terangan mendukung Indonesia melawan Belanda. “Kami anggap perjuangan saudara-saudara sah dan adil, maka janganlah ragu-ragu bahwa kami akan tetap menyokong saudara-saudara sampai Irian Barat bebas sama sekali dari penjajahan”, teriak Mikoyan. Nama Mikoyan sangat terkenal bagi masyarakat Indonesia saat itu. Sampai-sampai banyak anak Indonesia yang lahir saat itu dinamakan Mikoyan.
Banyak juga orang tidak menyadari dan mungkin tidak tahu serta menuduh bahwa wilayah Irian Barat direbut Indonesia karena ambisi pribadi Soekarno. Pernah Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, cuap-cuap di depan rakyatnya. Dia bilang bahwa Soekarno itu hebat dan orator ulung, sehingga dia punya ambisi pribadi untuk merebut Irian Barat. Perkataan itu dikritik oleh Indonesia. Beberapa minggu kemudian, saat Lee bertemu Presiden Soeharto di Batam, dia “didamprat” oleh Soeharto dengan cara harus. “Merebut wilayah Irian Barat bukanlah ambisi pribadi Bung Karno, tetapi sudah amanat proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945″, kata Soeharto sambil senyum-senyum. Sementara sang tamu Lee, mendengarnya dengan muka masam.
Soeharto adalah sosok yang bertanggung jawab dalam merebut Irian Barat, karena dia adalah panglima pertempurannya dengan persenjataan dari Uni Soviet. Ketika Soeharto berkunjung pertama kalinya ke Uni Soviet tahun 1989, dia mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada Uni Soviet (terlambat 27 tahun!), atas dukungannya dalam membantu Indonesia merebut Irian Barat. Rasa terima kasih itu diucapkan langsung di depan wajah Mikhail Gorbachev ketika mereka bertemu di Kremlin, Moskow.
Akhirnya di ujung tahun 1962, 31 Desember 1962, bendera Belanda diturunkan terakhir kalinya di bumi Indonesia, setelah menguasai wilayah ini selama 3 abad lebih. Dan Indonesia akhirnya memiliki wilayah yang sesuai diamanatkan proklamasi 17 Agustus 1945, dari Sabang sampai Merauke. Semua atas jasa Khrushchev dan Kennedy. Dua Mr. K yang mewujudkan cita-cita proklamasi. (*)

1 komentar: