Mr. K dan Mr. K, mewujudkan cita-cita proklamasi Indonesia
A built-in remedy
For Khrushchev and Kennedy
At anytime an invitation
You can’t decline
For Khrushchev and Kennedy
At anytime an invitation
You can’t decline
- “Killer Queen” oleh
Queen
MASIH ingat sepotong syair atau lyric dari lagu
berjudul “Killer Queen” yang dinyanyikan Freddie Mercury dari kelompok musik
asal Inggris itu? Pasti Anda bertanya, siapa Khrushchev dan siapa pula Kennedy?
Dan mahluk dari mana mereka?
Khrushchev atau nama
lengkapnya Nikite Sergeyevich Khrushchev adalah pemimpin Uni Soviet semasa
1960an. Sedangkan Kennedy yang dimaksud adalah John Fitzgerald Kennedy,
presiden AS saat awal 1960-an. Dua pemimpin besar dari dua negara adidaya itu,
kadang sering disingkat dengan sebutan pendek dalam tulisan-tulisan di media
cetak, Mr. K. Huruf K itu bisa Khrushchev dan bisa juga Kennedy.
Lalu kenapa mereka
disebut sebagai orang yang terlupakan dalam proklamasi Indonesia? Apa
hubungannya? Kok bukan orang Indonesia? Kok? Kok? Kok? Pasti banyak tanda tanya
yang tersimpan.
Gampang dan sangat mudah
memahami mengapa mereka dilupakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. Sudah jelas
dan semua tahu, mereka tidak terlibat langsung dalam perjuangan melahirkan
negeri ini yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Nikita, nama panggilan akrab
Khrushchev, berumur 51 tahun. Sedangkan Jack, panggilan sayang Kennedy berusia
belia 28 tahun saat Indonesia dilahirkan di rumah Soekarno.
Nama mereka berdua jelas
tak mudah dilupakan oleh banyak orang. Namun jasa mereka berdua jelas dilupakan
dalam proklamasi Indonesia. Bagaimana ceritanya? Bagaimana bisa diterima akal
sehat mereka menjadi sosok yang tak dikenang lagi, meskipun memiliki andil
mewujudkan cita-cita proklamasi Republik Indonesia, seperti yang diinginkan
pada 17 Agustus 1945.
Menurut hukum, wilayah
Indonesia sebagai negara baru, adalah semua wilayah yang dikuasai oleh Hindia
Belanda. Artinya, hamparan wilayah yang sah menurut hukum milik Indonesia,
terbentang dari ujung barat pulau Sumatera dan ujung timur wilayah paling
timur, Irian Barat atau Irian Jaya atau sekarang disebut Papua.
Dalam perjalanan waktu,
keinginan untuk memiliki wilayah sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak mudah.
Mempertahankan yang sudah ada saja sangat sulit. Bahkan makin berkurang
wilayahnya pada awal negeri ini masih balita. Cita-cita proklamasi yang ingin
memiliki wilayah Republik Indonesia membentang dari Sumatera hingga Papua,
masih menjadi impian.
Pada pidato kenegaraan
17 Agustus 1950, Soekarno memberikan judul pidatonya dengan sebuah kalimat
harapan, “Dari Sabang sampai Merauke”. Padahal tahun 1950, wilayah Papua masih
bercokol kekuasaan kerajaan Belanda. Wilayah kaya segalanya itu, tak rela
diserahkan hanya dengan tandatangan di atas kertas oleh Belanda. Tidak mau!
“Jiwa kita
teridam-idamkan hal satu itu, yaitu hal yang kita maksudkan pada waktu
proklamasi di Pegangsaan Timur lima tahun lalu!”, teriak Soekarno pada pidato
HUT RI yang pertama kali diucapkan di Jakarta, setelah 4 tahun dirayakan di
Jogjakarta. Lalu apa sih “hal yang itu”, seperti diisyaratkan Soekarno?
“Tak lain tak bukan
ialah satu negara, yang meliputi segenap kepulauan Indonesia ini, ‘dari Sabang
sampai Merauke’, kata Soekarno berapi-api di tangga Istana Merdeka yang baru
pertama kali dia tempati, setelah luntang lantung selama masa revolusi
1945-1949.
Barulah 13 tahun setelah
pidato kenegaraan HUT RI 1950 itu, niat untuk mewujudkan cita-cita proklamasi
mulai digenjot dengan berbagai cara. Baik cara diplomasi yang melelahkan dan
dengan cara militer, ini sebutan halus untuk menyatakan perang antara Indonesia
dan Belanda.
Dari medan diplomasi,
sangat mudah. Indonesia punya diplomat-diplomat ulung yang pandai
berargumentasi, perang mulut dan bisa meyakinkan orang bahwa hitam itu adalah
putih. Sebut saja Soebandrio, menteri luar negeri yang piawai dan pernah jadi
duta besar di London. Saking jago berdiplomasi, Ratu Elizabeth II menaruh
hormat padanya. (waktu dia dijatuhi hukuman mati oleh Orde Baru, Ratu Elizabeth
II mengirim surat agar keputusan itu tidak dilakukan). Banyak lagi
diplomat-diplomat Indonesia lainnya, yang pandai menguasai banyak bahasa asing
serta hebat dalam bersilat lidah.
Bagaimana di medan
perang? Wah…sedih… Indonesia tak punya persenjataan canggih menghadapi otot
militer Belanda, yang banyak didukung negara-negara barat. Padahal saat itu,
hampir semua perwira-perwira Indonesia banyak belajar di Amerika Serikat. Kalau
begitu minta saja kepada AS? Wooo… keinginan yang sulit dilakukan. Apalagi
Soekarno memperlihatkan dirinya makin menjauh dari negera-negara barat. Mungkin
saja dia sebal, karena tak ada yang mau bantu Indonesia dengan senjata untuk
melawan Belanda yang berkuasa di Papua saat itu.
Minta kemana? Mintalah
ke Uni Soviet yang saat itu mempunyai bos bernama Nikita Khrushchev.
Persahabatan Indonesia dan Uni Soviet (sekarang Rusia) yang baik dan mendalam,
dimanfaat untuk minta senjata. Dan dikabulkan oleh Khrushchev…
Bayangkan, di tahun 1962
saja, kredit bantuan yang diterima dari Uni Soviet berjumlah 1500 juta dolar
AS. Jumlah ini lebih banyak yang diterima negara komunis seperti Cina! Padahal
Indonesia bukan negara komunis dan bukan sekutu Uni Soviet. Ini tidak lepas
dari hubungan baik Khrushchev dan Soekarno. Saking mesranya, Khrushchev mau
terbang jauh-jauh dari negeri es ke negeri tropik Indonesia pada Februari 1960.
Khrushchev jalan-jalan keliling Indonesia selama beberapa minggu dengan
rombongan besar. Tentunya juga membawa banyak bantuan ekonomi dan militer.
Soekarno sempat iseng menawarkan Khrushchev buah duren untuk dimakan di depan
mahasiswa UI… Wueeekkss… hampir Khrushvchev mau muntah.
Jadilah Indonesia
sebagai negara teraneh di dunia. Perwiranya didikan Amerika, senjatanya buatan
Uni Soviet. Padahal dua negara itu sedang bermusuhan secara dingin. Nah,
senjata itu digunakan untuk melawan Belanda. Dan juga kekuatan militer
Indonesia menjadi yang terkuat di Asia, setelah Cina. Horeeee…
Akhirnya Soekarno
mengumumkan “perang terhadap Belanda” di Jogjakarta pada 19 Desember 1961, yang
kita kenal dengan sebutan Trikora (tiga komando rakyat), yang satu diantaranya
adalah mencegah ada negara Papua bikinan Belanda dan merebut wilayah itu
menjadi milik yang sah bagi Indonesia.
Kenapa di Jogjakarta
diumumkan? Inilah dendam Soekarno kepada Belanda, karena dia sudah merasa
mentang-mentang punya senjata dan merasa menang di medan diplomasi. Tanggal
itu, adalah hari yang sangat kelam bagi Indonesia dan bagi dirinya pribadi.
Pada Minggu pagi hari saat orang mau pergi ke gereja, 19 Desember 1948,
Jogjakarta diserbu dengan keji dan jatuh ke tangan Belanda. Soekarno dihina dan
dinistakan oleh Belanda, bagaikan seorang kriminal. Padahal dia adalah seorang
pemimpin sebuah negara berdaulat. Masak ditangkap seperti gembong narkoba?
Tindakan itu dibalas Soekarno!
Saya masih ingat cerita
dari suami kakak saya tentang masa Soekarno mengumumkan Trikora di Jogjakarta
tahun 1961. Saat itu suami kakak saya punya seorang kakak dan menikah ketika
Trikora dikumandangkan di Jogjakarta. “Waktu itu pesta kawinannya gelap. Mati
lampu seluruh Jogja!”, katanya. Ternyata mati lampu itu bukan karena kekurangan
pasokan listrik, tetapi untuk alasan keamanan karena Indonesia dalam keadaan
bahaya. Takut-takut kalau Belanda menyerang kota itu di malam hari, karena
merasa ditantang oleh Soekarno, orang yang paling dibenci Belanda sepanjang
sejarah negeri itu.
Nah, akhirnya senjata
pemberian Khrushchev itu dipakai untuk berperang. Armada Indonesia yang siap
menggempur Irian Barat (nama Papua waktu itu), adalah operasi militer terbesar
di dunia sejak pendaratan Normandia (Ingat film Steven Spielberg, “Saving
Private Ryan”?). Dan panglima dalam merebut Irian Barat adalah perwira
kesayangan Soekarno, Soeharto, yang lima tahu kemudian menggantikannya . Di
medan diplomasi ada Soebandrio, di medan pertempuran ada Soeharto. Klop!
Akan bertambah parah
keadaan dunia kalau terjadi perang terbuka antara Belanda dan Indonesia. Bisa
jadi Indonesia makin jatuh ke pelukan kubu Uni Soviet yang komunis, dan ini
yang dibenci serta ditakuti oleh Amerika Serikat. Untunglah, sebelum kejadian
itu, Soekarno sudah bolak-balik berdiplomasi dengan negara-negara yang dianggap
bisa membantu Indonesia secara diplomatik dan tekanan kepada Belanda.
Saat itu, hubungan
Soekarno dengan AS masih baikan dan mesra. Dicarilah dukungan kepada Presiden
John Kennedy, yang kemudian berteman baik secara pribadi dengan Soekarno. Dua
kali Soekarno menemui Kennedy di Ruang Oval, Gedung Putih. “John, mana
Jackie?”, kata Soekarno sok akrab ketika dia datang ke Gedung Putih tak ada
nyonya rumah yang menyambutnya. Jackie adalah istri Presiden Kennedy yang
cantik dan muda. Tahun 1990, Jackie buka kartu dalam sebuah buku biografinya,
bahwa Soekarno pernah mengundangnya datang ke Indonesia, dengan syarat tanpa
suami!
Karena tekanan Presiden
Kennedy yang berat kepada Belanda, akhirnya pertempuran besar-besaran antara
Indonesia dan Belanda bisa dihindarkan. Beberapa kali perundingan dilakukan
oleh Indonesia dan Belanda yang diberi fasilitas oleh Kennedy melalui diplomat
kawakan AS, Ellsworth Bunker. Akhirnya atas usulan Bunker yang disetujui
bersama pada Agustus 1962, Belanda didesak untuk memberikan kedaulatan Irian
Barat secara bertahap kepada Indonesia, paling lambat pada Mei 1963. Usulan ini
pasti diterima Indonesia atas jasa Kennedy dan diterima oleh parlemen Belanda
dengan muka cemberut. “Politik AS sekarang merugikan negara-negara barat”, kata
Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns (tahun 1980an dia menjadi sekjen NATO,
pakta militer negara-negara barat di Eropa).
Tak ada perang terbuka
secara besar-besaran seperi yang kita bayangkan antara Indonesia dan Belanda.
Irian Barat atau kini Papua kembali menjadi wilayah Indonesia sebelum ayam
berkokok Soekarno menepuk dada dengan memberi judul pidato kenegaraa HUT RI 1962
dengan judul “Tahun Kemenangan”. Menang merebut Irian Barat. Dan Presiden John
Kennedy menjadi satu-satunya presiden AS yang pernah memberi ucapan resmi atas
HUT RI kepada Indonesia, pada HUT RI ke 17 tahun 1962, saat Indonesia bagai
gadis ranum. Sebuah ucapan “sweet seventeen” dari Kennedy.
Pada masa itu, ketika
Indonesia ingin merebut kembali wilayah Irian Barat, Indonesia berteman baik
dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bahkan pertemanannya itu sudah masuk ke
wilayah yang lebih personal. Antara Soekarno dan Khrushchev dan antara Soekarno
dan Kennedy. Dalam banyak tingkah laku dan pernyataan resmi dari AS dan Uni
Soviet, kedua negeri besar itu “agak mendukung” Indonesia untuk mewujudkan
cita-cita proklamasinya, merebut wilayah Irian Barat.
Lihat saja, betapa
bencinya Belanda dengan Duta Besar AS untuk Indonesia, yang bernama Howard
Jones. Jones adalah sahabat Soekarno dan selalu mengeluarkan perkataan yang
mendukung Indonesia setiap dia jalan-jalan ke daerah-daerah di nusantara ini.
Sering Jones memekikan kata “MERDEKA!” saat rapat umum di Makassar dan di Banda
Aceh. Belanda murka terhadapnya, karena perkataan “MERDEKA!”, yang sangat
traumatik bagi pengalaman Belanda selama menjajah Indonesia. Sampai-sampai
Belanda menjuluki sang duta besar itu dengan sebutan, Howard ‘Merdeka’ Jones.
Begitupun dengan pihak
Uni Soviet, yang tidak hanya membantu senjata, tetapi juga memberi sebuah
stadion terbesar di Asia bahkan satu dari stadion termegah di dunia saat itu,
Stadion Gelora Bung Karno, serta memberi sebuah rumah sakit modern, yang kini
bernama Rumah Sakit Persahabatan. Saya pernah membaca sebuah piagam berbahasa
Rusia berukuran besar, yang tetap dipasang di pintu depan rumah sakit itu,
untuk menyatakan terima kasih dan memberi tahu kepada siapapun, bahwa rumah
yang membuat orang sehat ini adalah bantuan Soviet. Orang-orang dulu
menyebutnya dengan sebutan “Rumah Sakit Rusia”.
Ketika Stadion Gelora
Bung Karno buatan Uni Soviet itu diresmikan, Wakil Perdana Menteri Anastas
Mikoyan hadir. Dia berpidato di depan publik dengan terang-terangan mendukung
Indonesia melawan Belanda. “Kami anggap perjuangan saudara-saudara sah dan adil,
maka janganlah ragu-ragu bahwa kami akan tetap menyokong saudara-saudara sampai
Irian Barat bebas sama sekali dari penjajahan”, teriak Mikoyan. Nama Mikoyan
sangat terkenal bagi masyarakat Indonesia saat itu. Sampai-sampai banyak anak
Indonesia yang lahir saat itu dinamakan Mikoyan.
Banyak juga orang tidak
menyadari dan mungkin tidak tahu serta menuduh bahwa wilayah Irian Barat
direbut Indonesia karena ambisi pribadi Soekarno. Pernah Perdana Menteri
Singapura Lee Kuan Yew, cuap-cuap di depan rakyatnya. Dia bilang bahwa Soekarno
itu hebat dan orator ulung, sehingga dia punya ambisi pribadi untuk merebut
Irian Barat. Perkataan itu dikritik oleh Indonesia. Beberapa minggu kemudian,
saat Lee bertemu Presiden Soeharto di Batam, dia “didamprat” oleh Soeharto dengan
cara harus. “Merebut wilayah Irian Barat bukanlah ambisi pribadi Bung Karno,
tetapi sudah amanat proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus
1945″, kata Soeharto sambil senyum-senyum. Sementara sang tamu Lee,
mendengarnya dengan muka masam.
Soeharto adalah sosok
yang bertanggung jawab dalam merebut Irian Barat, karena dia adalah panglima
pertempurannya dengan persenjataan dari Uni Soviet. Ketika Soeharto berkunjung
pertama kalinya ke Uni Soviet tahun 1989, dia mengucapkan rasa terima kasih
yang mendalam kepada Uni Soviet (terlambat 27 tahun!), atas dukungannya dalam
membantu Indonesia merebut Irian Barat. Rasa terima kasih itu diucapkan
langsung di depan wajah Mikhail Gorbachev ketika mereka bertemu di Kremlin,
Moskow.
Akhirnya di ujung tahun
1962, 31 Desember 1962, bendera Belanda diturunkan terakhir kalinya di bumi
Indonesia, setelah menguasai wilayah ini selama 3 abad lebih. Dan Indonesia
akhirnya memiliki wilayah yang sesuai diamanatkan proklamasi 17 Agustus 1945,
dari Sabang sampai Merauke. Semua atas jasa Khrushchev dan Kennedy. Dua Mr. K
yang mewujudkan cita-cita proklamasi. (*)
Sejarah yg terlupakan..
BalasHapus